Perjalanan tengah hari di Salayo, sebuah desa kecil di
Kabupaten Solok Sumatera Barat ini terasa cocok sekali untuk melepas penat
sembari menikmati libur lebaran sebelum balik lagi ke Ibukota untuk menghadapai
realita ujian akhir semester. dikelilingi dengan pemandangan sawah dan kegiatan
petani yang sibuk dengan alat tempur mereka masing-masing hingga sapi yang
sedang asik dengan menu makan siangnya.Perjalanan saya tidak terasa hingga
sampai ketempat tujuan yaitu mengunjungi makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang
yang dikenal sebagai seorang tokoh panutan yang menjadi pemimpin kelarasan Bodi
Chaniago.
Dalam lokasi makam yang dipayungi bangunan khas “Rumah
Gadang” Minang itu terdapat lima makam yang dikebumikan disamping Datuak
Parpatiah. Masing-masing , 2 orang teman sejawat Datuak Parpatiah, yang bernama
Pangeran Banten yang kemudian diberi gelar adat Sultan Rajo Bantan dan
Tumenggang yang dikemudian diberi gelar adat Datuak Tumangguang. Pemberian adat
ini, konon karena kedua teman Datuak ini sudah “Malakok’ atau mengaku Mamak di
Salayo yang kemudian diangkat menjadi Datuak. Sedangkan tiga orang lainnya
berasal dari Salayo. Masing-masing makam dubalang dari kaum Chaniago Hilia
bergelar Dt Barambun Duri Lukah, dan makam dubalang dari kaum Chaniag Mudiak
bergelar Dt Baniang Balapuik. Serta, makam seorang perempuan yang tidak
diketahui namanya. Informasi sejarah yang saya terima turun temurun dari tetua
kampung Salayo, makam perempuan ini diberi nama Mande Rubyah (bukan Rubyah di
Lunang Silaut). Konon ceritanya beliau dulunya bekerja sebagai tukang cuci baju
Dt Parpatiah.
Informasi yang didapat dari Depi Pasus. Semua informasi yang
didapat Depi Pasus petugas penjaga makam ini bersumber dari tokoh-tokoh adat dan ninik-mamak di sekitar Nagari Salayo. Diantaranya
cerita dari almarhum Emi Datuak Mangkudun yang pernah menjadi Kepala Desa
sekitar 35 tahun lalu, dari almarhum Datuak Rajo Sampono yang mantan Kepala
Desa Salayo dan dari beberapa tokoh lainnya. Selain dikenal sebagai panutan dalam
masyarakat Minangkabau dan pemimpin kelarasan Bodi Chaniago, Dt Parpatiah Nan
Sabatang ini juga dikenal sebagai Datuak yang gemar mengembara. Bahkan hingga
tanah Jawa. Makam Pangeran Banten Tumenggung ini adalah bukti. Asal mula Dt
Parpatiah dimakamkan di Salayo di Munggu Tanah Nagari Salayo ini sendiri
berawal dari keberadaan Dt Parpatiah dulunya yang suka bertandang ke Nagari
Salayo.
Sekitar tahun 1298 Masehi, Dt Parpatiah Nan Sabatang Jatuh Sakit. Dalam
keadaan sakti itu juga, Dt berpesan pada Datuak Gadang, agar dapat mengumpulkan
seluruh ninik-mamak yang berada di kawasan “Kubuang Tigo Baleh” untuk dapat
bertatap muka dan diberi pengajaran oleh Dt Parpatiah. “Dima tanah dipijak,
dirikan Nagari jo adatnya. Tanah lunak jadikan sawah, tanah kareh buekkan
ladang, dan tanah tandus jadikan padang gumbalo. Dalam sejarahnya, sebelum
menghembuskan nafas terakhir di rumah Datuak Gadang, beliau berpesan seperti
pada ninik-mamak di Kubung Tigo Baleh,” tutur ayah dua orang anak ini. Setelah
meninggal dunia, ninik-mamak di kawasan Kubung Tigo Baleh berkesepakatan untuk
memakamkan Dt Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao (Bypas Salayo).
Namun,
konflik mulai terjadi, saat kabar duka meninggalnya Dt Parpatiah ini berhembus
hingga ke Istana Pagaruyuang di Batu Sangkar. Alhasil, setelah terkuburnya Dt
Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao, tokoh adat di Batu Sangkar ingin jenazah
Dt ini dibawa ke Pagaruyuang dan dikebumikan di sana. Mendengar kabar itu,
tokoh Solok dan Kubuang Tigo Baleh juga tak senang hati. Sebab, ninik-mamak di
Solok dan Salayo, juga menginginkan jenazah Dt Parpatih tetap di Salayo.
Berbagai cara diakali ninik-mamak menghalangi kedatangan rombongan dari Batu
Sangkar. Mulai dari ranjau pandan berduri yang di buat orang Solok. Ada juga
pagar betis dari batang tabu. “Upaya menghalangi orang Batu Sangkar itu tidak
berhasil, dan sampai juga mereka di Salayo,” kata Depi mengisahkan.
Namun, masyarakat Solok-Salayo tidak kehilangan akal untuk tetap
mempertahankan keberadaan makam Dt Parpatiah agar tetap di Salayo. Sampai di
Nagari Salayo, rombongan dari Batu Sangkar dijamu dengan makan dan minum di
rumah Datuak Gadang. Singkat cerita, tokoh masyarakat di Salayo berusaha
memperlambat waktu rombongan dari Batu Sangkar. Sembari makan, rombongan dari
Batu Sangkar ini diajak bercerita oleh tokoh Solok-Salayo di rumah Gadang
Datuak Gadang di Salayo. Dimana tokoh Salayo meyakinkan agar jenazah Dt
Parpatiah tetap berada di daerah Salayo.
Sekarang kondisi makam yang kurang terjaga ini menunjukan
kurang adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk Pangeran ini. Banyak nya
sampah yang berserakan dan dibuktikan dengan terakir di pugarnya makam pada
tahun 2005. Padahal sebaiknya makam ini lebih dikelola dan ditata dengan baik
agar gerenasi muda juga dapat mengetahui sejerah dan keberadaan Pangeran yang
terlupakan di Nagari Salayo ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar