Senin, 10 Juli 2017

Pangeran yang Terlupakan di Salayo




Perjalanan tengah hari di Salayo, sebuah desa kecil di Kabupaten Solok Sumatera Barat ini terasa cocok sekali untuk melepas penat sembari menikmati libur lebaran sebelum balik lagi ke Ibukota untuk menghadapai realita ujian akhir semester. dikelilingi dengan pemandangan sawah dan kegiatan petani yang sibuk dengan alat tempur mereka masing-masing hingga sapi yang sedang asik dengan menu makan siangnya.Perjalanan saya tidak terasa hingga sampai ketempat tujuan yaitu mengunjungi makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang dikenal sebagai seorang tokoh panutan yang menjadi pemimpin kelarasan Bodi Chaniago. 



Dalam lokasi makam yang dipayungi bangunan khas “Rumah Gadang” Minang itu terdapat lima makam yang dikebumikan disamping Datuak Parpatiah. Masing-masing , 2 orang teman sejawat Datuak Parpatiah, yang bernama Pangeran Banten yang kemudian diberi gelar adat Sultan Rajo Bantan dan Tumenggang yang dikemudian diberi gelar adat Datuak Tumangguang. Pemberian adat ini, konon karena kedua teman Datuak ini sudah “Malakok’ atau mengaku Mamak di Salayo yang kemudian diangkat menjadi Datuak. Sedangkan tiga orang lainnya berasal dari Salayo. Masing-masing makam dubalang dari kaum Chaniago Hilia bergelar Dt Barambun Duri Lukah, dan makam dubalang dari kaum Chaniag Mudiak bergelar Dt Baniang Balapuik. Serta, makam seorang perempuan yang tidak diketahui namanya. Informasi sejarah yang saya terima turun temurun dari tetua kampung Salayo, makam perempuan ini diberi nama Mande Rubyah (bukan Rubyah di Lunang Silaut). Konon ceritanya beliau dulunya bekerja sebagai tukang cuci baju Dt Parpatiah.


 Informasi yang didapat dari Depi Pasus. Semua informasi yang didapat Depi Pasus petugas penjaga makam ini bersumber dari  tokoh-tokoh adat  dan ninik-mamak di sekitar Nagari Salayo. Diantaranya cerita dari almarhum Emi Datuak Mangkudun yang pernah menjadi Kepala Desa sekitar 35 tahun lalu, dari almarhum Datuak Rajo Sampono yang mantan Kepala Desa Salayo dan dari beberapa tokoh lainnya.  Selain dikenal sebagai panutan dalam masyarakat Minangkabau dan pemimpin kelarasan Bodi Chaniago, Dt Parpatiah Nan Sabatang ini juga dikenal sebagai Datuak yang gemar mengembara. Bahkan hingga tanah Jawa. Makam Pangeran Banten Tumenggung ini adalah bukti. Asal mula Dt Parpatiah dimakamkan di Salayo di Munggu Tanah Nagari Salayo ini sendiri berawal dari keberadaan Dt Parpatiah dulunya yang suka bertandang ke Nagari Salayo. 

Sekitar tahun 1298 Masehi, Dt Parpatiah Nan Sabatang Jatuh Sakit. Dalam keadaan sakti itu juga, Dt berpesan pada Datuak Gadang, agar dapat mengumpulkan seluruh ninik-mamak yang berada di kawasan “Kubuang Tigo Baleh” untuk dapat bertatap muka dan diberi pengajaran oleh Dt Parpatiah. “Dima tanah dipijak, dirikan Nagari jo adatnya. Tanah lunak jadikan sawah, tanah kareh buekkan ladang, dan tanah tandus jadikan padang gumbalo. Dalam sejarahnya, sebelum menghembuskan nafas terakhir di rumah Datuak Gadang, beliau berpesan seperti pada ninik-mamak di Kubung Tigo Baleh,” tutur ayah dua orang anak ini. Setelah meninggal dunia, ninik-mamak di kawasan Kubung Tigo Baleh berkesepakatan untuk memakamkan Dt Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao (Bypas Salayo). 

Namun, konflik mulai terjadi, saat kabar duka meninggalnya Dt Parpatiah ini berhembus hingga ke Istana Pagaruyuang di Batu Sangkar. Alhasil, setelah terkuburnya Dt Parpatiah Nan Sabatang di Bawah Jao, tokoh adat di Batu Sangkar ingin jenazah Dt ini dibawa ke Pagaruyuang dan dikebumikan di sana. Mendengar kabar itu, tokoh Solok dan Kubuang Tigo Baleh juga tak senang hati. Sebab, ninik-mamak di Solok dan Salayo, juga menginginkan jenazah Dt Parpatih tetap di Salayo. Berbagai cara diakali ninik-mamak menghalangi kedatangan rombongan dari Batu Sangkar. Mulai dari ranjau pandan berduri yang di buat orang Solok. Ada juga pagar betis dari batang tabu. “Upaya menghalangi orang Batu Sangkar itu tidak berhasil, dan sampai juga mereka di Salayo,” kata Depi mengisahkan.

Namun, masyarakat Solok-Salayo tidak kehilangan akal untuk tetap mempertahankan keberadaan makam Dt Parpatiah agar tetap di Salayo. Sampai di Nagari Salayo, rombongan dari Batu Sangkar dijamu dengan makan dan minum di rumah Datuak Gadang. Singkat cerita, tokoh masyarakat di Salayo berusaha memperlambat waktu rombongan dari Batu Sangkar. Sembari makan, rombongan dari Batu Sangkar ini diajak bercerita oleh tokoh Solok-Salayo di rumah Gadang Datuak Gadang di Salayo. Dimana tokoh Salayo meyakinkan agar jenazah Dt Parpatiah tetap berada di daerah Salayo.

Sekarang kondisi makam yang kurang terjaga ini menunjukan kurang adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk Pangeran ini. Banyak nya sampah yang berserakan dan dibuktikan dengan terakir di pugarnya makam pada tahun 2005. Padahal sebaiknya makam ini lebih dikelola dan ditata dengan baik agar gerenasi muda juga dapat mengetahui sejerah dan keberadaan Pangeran yang terlupakan di Nagari Salayo ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar